Minggu, 30 Januari 2011

Ideologi Gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Hand Out
Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh Angkatan Muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkindi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.
Sejak awal berdirinya, IMM sebagai ormas mahasiswa Islam terlahir dari kelompok sosial keagamaan dengan identitas yang jelas. IMM mencoba mengaktualisasikan diri dalam ranah gerakan mahasiswa yang fokusnya adalah pada gerakan intelektual. Sebagai entitas organik mahasiswa sifat dan gerakan IMM hampir sama dengan organ mahasiswa muslim lainnya yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM adalah : Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral Agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al Qur’an. Ketiga, courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat.

Pengertian Ideologi
Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi merupakan keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut.
Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya. Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi “mengatur” manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme.
Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial berkaitan erat. Bagaimana memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.

Pendekatan Teologis, sebagai Basis Ideologi IMM
Pemikiran teologi dalam ideologi IMM bersumber dari ajaran Aqidah yang dijelaskan dalam Al Qur’an dengan inti kepercayaan pengesaan Tuhan (Tauhid) dan pengakuan atas kerasulan Muhammmad (Muhammad Rasulullah). Pemikiran teologi tentang Allah merupakan sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya wujud nyata dari perilaku dan kepribadian kader IMM merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sebagai salah satu organ pergerakan mahasiswa tidak begitu saja dengan mudahnya dalam melakukan aktualisasi program-program yang ada namun perlu adanya sebuah perencanaan serta didasarkan pada landasan yang jelas. IMM sebagai gerakan sosial keagamaan pada dunia mahasiswa, tentu saja tidak bisa lepas dari Agama sebagai landasan teologisnya dalam berpikir, bertindak dan berinovasi. Aspek teologis ini penting karena dari sinilah IMM melancarkan purifikasi Pemikiran ataupun pemurnian Tauhid dari segala bentuk praktek keagamaan yang berbau sekuler. Dengan langkah ini sebenarnya IMM perlu mencoba melangkah ke arah praksis, yaitu memperbaharui pola pikir kader yang lebih “mendalam dan mengakar”, tidak mistis dan metafisis semata. Pada konteks historis, pemahaman teologis semacam ini sangat hidup dan dinamis di dalam IMM, sehingga seringkali “gerakan pemikiran” yang dilakukan IMM yang ada dinegeri nusantara ini cukup mengesankan. Ini terbukti dengan adanya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora), kedua entitas ini merupakan manifestasi serta kontribusi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah kepada bangsa ini.
Kita meyakini teologi yang melatar belakangi ideologi IMM tidak berhenti pada tataran wacana, melainkan mengakar dalam bentuk praksis pembebasan. Mengutip pemikiran Farid Esack, tokoh Islam Afrika Selatan, menyatakan :

Perlunya menggeser teologi eksklusif kearah teologi yang liberatif terhadap kaum tertindas. Jalan Allah dan Rasul dijadikan poin niat transformasi mental karena Allah dan Rasul merupakan jati diri eksistensial kemanusiaan.

Dengan kata lain, Allah merupakan poros yang menjadi substansi kebenaran dan Rasul adalah poros moralitas universal yang pada poros itulah seluruh dimensi kemanusiaan kembali. Allah adalah kebenaran itu sendiri yang personifikasi moralitasnya adalah Rasul.

Dengan makna seperti ini, pemancangan niat itu adalah pengakuan untuk turut merasakan dan terlibat dalam proses-proses substansialisasi manifestasi nilai-nilai kemanusiaan yang liberatif-emansipatif dan menerjemahkan nilai menjadi fakta sosial yang damai dan menyejukkan secara eksistensial.


Ideologi IMM
Upaya memahami ideologi gerakan IMM merupakan hal yang sangat penting. Apabila ditelisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial. Namun hingga kini, kajian tentang ideologi khususnya dalam gerakan mahasiswa sangat minim. Maka, identitas ideologi IMM yang niscaya terefleksikan dalam praksis gerakan IMM perlu dikaji.
Dalam tataran konseptual sebenarnya IMM memiliki sebuah konsep yang komprehensif. Trilogi Iman-Ilmu-Amal yang kemudian juga berkaitan dengan Trilogi lahan garapan Keagamaan-Kemasyarakatan-Kemahasiswaan dan juga trikompetensi kader Spiritualitas-Intelektualitas-Humanitas memiliki konsep yang khas dibanding pola gerakan lain. Hal ini bisa dilihat dalam struktur organisasi IMM yang ingin mengakomodasi semua realitas Mahasiswa : Bidang Keilmuan yang berorientasi pada Profesionalisme, Bidang Sosek yang berorientasi pada Gerakan Kongkrit Pemihakan–Dakwah-Pemberdayaan dan Bidang Hikmah yang berorientasi pada peran IMM sebagai organ intelektual kritis-etis-politis serta bidang lainnya yang tentunya terfokus pada lahan yang sesuai dengan kompetensi bidang-bidang itu pula.
Dari asal katanya, kata intelek berasal dari kosa kata latin : Intellectus yang berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan. Sedangkan kata intelektual berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berfikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Kata intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang memiliki kecerdasan tinggi atau juga disebut kaum cendekiawan.
Dari pengertian istilah, intelektualisme adalah sebuah doktrin filsafat yang menitikberatkan pengenalan (kognisi) melalui ranah intelektual serta secara metafisik memisahkannya dari pengetahuan indra serapan. Intelektualisme berkerabat dengan rasionalisme. Dalam filsafat Yunani Purba, penganut intelektualisme menyangkal kebenaran pengetahuan indra serta menganggap pengetahuan intelektual sebagai kebenaran yang sungguh-sungguh. Di dalam filsafat modern, intelektualisme menentang keberat sebelahan sensasionalisme yang hanya mengandalkan indra, antara lain didukung oleh Rene Descartes (1596-1650), kaum Cartesian, serta sampai batas tertentu oleh Spinizisme. Pada masa kini, bercampur dan tambah dengan aliran agnitisme, intelektualisme dibela positivisme logika.
Dalam pembahasan tentang identitas Intelektual IMM, maka tidak terlepas dari konteks Intelektual Islam. Bila dikaitkan dengan arti harfiah intelektualime di atas, maka bisa dikatakan bahwa kata Intelektualime mirip dengan budaya berfikir yang dibangun oleh kaum Mu’tazillah yan mewakili rasionalisme Islam.
Mu’tazillah sendiri adalah aliran rasionalisme dalam teologi Islam yang muncul sejak permulaan abad ke-2 Hijriyah atau perempat abad pertama abad ke-8 Masehi. Pemikiran rasionalismenya itu hanya terikat kepada Al-Qur’an dan Hadist Mutawatir, atau minimal hadist yang diriwayatkan oleh 20 sanad. Pendiri aliran ini Washil bin Atha’ dan pendukungnya antara lain Abul Huzail al Allaf, Ibrahim an Nazzam, Muammar ibnu abbad, Muhammad al-Jubbai dan al Jahiz. Dalam paham mereka, Al-Qur’an adalah mahluk dan diungkapkan dalam huruf atau suara yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW pada waktu, tempat dan bahasa tertentu. Ayat-ayatnya yang menyebutkan tangan, wajah, mata Tuhan dan yang seperti itu hendaklah difahami secara metaforis. Selain itu menurut mereka Tuhan hanya berbuat baik dan mesti berbuat demikian sebagai kewajiban-Nya untuk kepentingan manusia. Ia tidak bisa dilihat dengan mata jasmani, bukan saja di dunia, juga diakhirat. Manusia dalam pandangan mereka mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengetahui adanya Tuhan, mengetahui baik dan buruk serta mengetahui dengan akalnya kewajiban untuk bersyukur kepada Tuhan dan mengamalkan kebaikan. Manusia memiliki kemauan bebas dan kebebasan bertindak : dan terhadap kebebasannya itu Tuhan akan mengadilinya nanti di akhirat.
Bila didasarkan pada pengertian harfiah tentang kerangka pemikiran atau kerangka intelektual yang berkaitan tentang akal fikiran atau mentalitas berdasarkan kemauan berfikir, Al Qur’an banyak membahas. Sebagai contoh tentang akibat orang-orang bodoh. Pada Surat Al An’aam ayat 119 : dijelaskan tentang orang-orang yang melampaui batas kerena tidak berpengetahuan. Atau Surat Al-An’aam ayat 144 : tentang relasi ketiadaan pengetahuan dengan kezaliman. Hal ini sejalan dengan pengakuan keberadaan akal seperti pada Surat Az-Zumar ayat 91 : dan kedudukan bagi orang yang berilmu.
Dari istilah intelektual muslim (Islam) Dawam Raharjo mengartikan bahwa ke-intelektualan adalah ekspresi dari ke-Islaman. Atau yang lebih jelas lagi, ke-Intelektualan adalah konsekuensi dari ke-Islaman. Artinya, bahwa sikap, budaya, kompetensi (dan status) intelektual seorang muslim adalah ekspresi dan konsekuensi dari deklarasi ke-Islaman muslim tersebut. Sehingga tampak secara tegas perbedaan antara orang Islam yang intelektual dan non-Islam yang intelektual. Ke-intelektualan seorang muslim adalah dikarenakan ke-Islamannya, sedangkan ke-intelektualan non muslim tidak berdasarkan ke-Islaman. Pengertian di atas hanya berdasarkan sebab terjadinya suatu ke-intelektualan, sedangkan hasil kongkrit (materiil) dari suatu ke-intelektualan non-muslim bisa saja lebih canggih atau lebih primitive.
Dari konsep intelektual Islam, terlebih dahulu perlu dikaji konsep Ulil Albab. Istilah Ulil Albab di dalam Al Qur’an terdapat pada beberapa ayat. Salah satunya tertera pada Surat Al Ali Imron Ayat ke 190-191:

Artinya : “Sesungguhnya, dalam (proses) penciptaan langit dan bumi, dan (proses) pergantian malam dan siang, adalah tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi ulil albab (orang-orang yang berfikir [menggunakan kekuatan intelektual mereka]). Yaitu orang-orang yang berzikir (berlatih diri dalam mencapai tingkat kesadaran akan kekuasaan Allah) dalam keadaan berdiri, duduk, dan dalam keadaan terlentang, dan senantiasa berfikir tentang (proses) penciptaan langit dan bumi, (sehingga mereka menyatakan) wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini dalam keadaan sia-sia. Maha suci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka” (QS 3: 190-191)

Dalam Surat Ali Imron ayat 190-191 ini, dinyatakan adanya aspek hasil pengamatan realitas (tanda-tanda alam), dan aspek hasil interpretasi intrinsik (proses) sebagai hasil proses fikir dan zikir. Di dalam konsep ini, kata ulil albab sebagai padanan arti Intelektual berarti ada kesinambungan antara kemampuan berfikir, merenung dan membangun teori ilmiah dari realitas alam yang empiris dengan metode induktif dan deduktifnya namun sekaligus mampu mempertajam analisisnya dengan mengasah hati dan rasa melalui berzikir.
Dalam perkembangan kaitan antara fikir dan zikir ini Taufik Pasiak menyatakan bahwa kadang kita salah mengartikan fikir sebagai kerja otak dan zikir sebagai kerja hati. Karena sesungguhnya setelah adanya perkembangan dalam ilmu kedokteran dalam bidang neurologi kedua kerja tersebut merupakan kerja otak dimana didalam organ otak ada organ yang berfungsi untuk melakukan tugas berlogika (untuk kerja fikir) dan ada organ yang berfungsi untuk intuisi (kerja zikir). Bahkan Taufiq Pasiak menyatakan bahwa sesungguhnya terjemahan kata qolb (qolbu) adalah menunjuk organ otak juga. Perasaan di dada itu adalah karena aliran darah yang mengalir tidak teratur di jantung, sehingga kadang orang menyebut bahwa qolb (terjemahan kata hati dari kata inggris heart bukan liver) itu berada di dada. Jadi otak bukanlah hanya fikiran karena otak tempat proses berfikir dan pengendali perasaan. Untuk pembahasan selanjutnya kata Ulil Albab dianggap sama dengan kata Intelektual (Islam).

Epilog
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) telah mengukir sebuah sejarah yang tidak mungkin mengelak dari konsep utama pendiriannya sebagai gerakan intelektual. Dalam realita kemusliman, ke-Indonesiaan, kepeloporannya IMM memiliki sebuah dilema kesejarahan yang menjadikan dirinya seakan inferior dibanding organ gerakan Mahasiwa lain di Indonesia. Intelektualitas sebagai konsekuensi ke-Islaman seseorang memerlukan pemetaan untuk membentuk jati diri yang lebih mantap. Dialektika identitas diri dari konsep Ulil Albab, Intelektual-Intelegensia, hingga Intelektual Organik perlu direlasikan dengan idealisme dakwah Islam, profesionalisme kader dan pemihakan. Sehingga peran kesejarahan IMM akan mantap khususnya dalam proses melakukan perkaderan demi tersedianya kader Bangsa, Ummat dan Persyarikatan.

1 komentar:

  1. Assalamu,alaikum....
    mohon ijin tulisanya boleh di share...?

    dan terimakasih sebelumnya

    BalasHapus